Kamis, 20 Mei 2010

penulis puisi pun lulusan SDI Kergon 1

Menuliskan kerinduan pada kota kelahiranku, Pekalongan, akan muncul serentetan kisah dan nama yang tak bisa aku lepaskan dari pejalananku dari Pekalongan ke Yogyakarta – Yogyakarta ke Pekalongan. Ada kekhawatiran dalam diriku, bila sebagian nama yang muncul akan membuat aku menjadi jumawa, namun karena aku tidak ingin catatan ini terpenggal sehingga ada yang disembunyikan, maka dalam menulisnya aku mencoba berada dalam perpektif seorang anak kecil yang polos, jujur dan naif, bercerita, keluh kesah atau mengadu pada Ibunya. Salahkah bila aku mengadu pada tanah kelahiranku?.
Aku menulis puisi karena aku ingin menulis apa yang aku lihat, apa yang aku yakini, apa yang aku rasa dan apa yang ada dalam imaji. Menulis puisi bagiku adalah menulis kehidupan, dan aku merasakan hidup didalamnya. Dalam proses itu aku merasa kerinduanku terlampiaskan.
Aku menulis puisi bukan ingin disebut penyair bahkan seniman. Dengan Penyair dan Seniman aku cukup berkawan baik saja, dan mereka juga cukup mengenalku sebagai Pengusaha saja, karena aku orang yang senang berusaha.
Menulis puisi, sungguh berbeda dengan saat aku menulis proposal, desain produksi, atau creative strategy yang selalu diikuti hasrat bahwa tulisan-tulisanku harus diyakini, bahkan gagasan-gagasan dan pemikiranku sebisa mungkin dibeli dengan harga tinggi. Karena tulisan-tulisan itu tanda bahwa aku bekerja, sebagai tukang kreatif penyelenggara acara dan tukang kreatif membangun citra sebuah nama perusahaan atau lembaga. Kalau puisi, aku hanya berbicara lewat hati, kadang tanpa sadar bergumam, sesekali berteriak. Masing-masing orang boleh berdatangan kepadanya dan akan kembali pada rasa dan pikiran-pikirannya masing-masing, karena tiap-tiap orang punya sense yang berbeda.
Jika aku berani menulis puisi, karena aku menyukainya, dan aku senang melakukannya. Aku mengenalnya lebih dari tiga puluh tahun, saat sekolah di TK aku membaca puisi “Kasih Ibu” dalam acara Perpisahan, dan Ibuku bersama Ustadzah Kus (Bu Rasyid) guru TK ku di TK ABA Bendan menangis menyaksikan, entah karena aku menghayati atau karena aku membaca puisi dengan tergesa-gesa karena grogi berdiri dipanggung seorang diri.
Pergaulan dengan puisi tidak pernah berhenti dalam hidupku hingga kini. Orang pertama yang mengenalkan aku pada puisi adalah Ibu. Tembang, Do’a dan Syair-nya disenandungkan menjelang aku tidur, terkadang saat aku demam-sakit, dan kemudian segera sehat kembali.
Kecintaan pada puisi makin tumbuh dalam bimbingan Ustadz Lubb (M.Lubb Ubaidillah Irfan), guru SD Islam Kergon I Pekalongan dimana aku bersekolah, lewat bimbingannya aku merajalela dalam arena lomba baca puisi, beberapa piala sempat aku menangi. Kemudian Ibu Tien Koesman Soedjarwo, guruku di SMP 1 Pekalongan dan Drs. Soepodo di SMA 2 Pekalongan.
Diluar diketiga orang itu, pergaulanku dengan puisi semakin menjadi-jadi. Aku bergabung dengan Teater KAMI, bersama Pak Sugeng Isdiyanto, Mas Imawan, Teguh Santoso, Wahyudi, El Haitam, MA.Rafiq, Maulana, Haris Wibowo, Abdul Fatah, Lukman Anand, Fredy Khariyanto (alm), Muhammad Bisri, Ratna, Ron Widodo, Retno Palupi, Rossie Riyantari dan Suryani. Diluar teman-teman Teater KAMI, ada tiga nama yang waktu itu aku “benci”, mereka adalah Muhammad Salim Attamimi, Nur Agustina dan Sofi Mumtazatul Makarimi. Ketiga nama itu yang membuat aku selalu kalah dalam setiap lomba baca puisi, (sekarang mereka bertiga ada dimana ya? masihkan mereka berpuisi?, merekalah jagoan puisi Pekalongan th ’88-’90 an).
Seniman-seniman Pekalongan yang lebih senior juga menjadi kawan dan lebih sering jadi lawan diskusi soal puisi (mungkin karena aku bukan seniman sejati, kesenimananku hanya sebatas kepala, tidak sampai ke dada, apalagi kekemaluan, sehingga dalam setiap diskusi aku selalu ngeyelan). Masih terngiang nasihat-nasihat Pak Musthofa Baragbah (alm), Ustadz Aziz Basyarail, Mas EH Kartanegara dan Pak Yunus Mukri Adi. Juga teman-teman Eks Teater Kandidat & Sanggar Nusa, Emirrul Chaq AKA, Taufiq Emich, Abdillah Ba’bud, Mas Syaelani Machfudz, Mas Oso, Mas Dele, Gito, Mas Amzong, Ghozali Rahmad, Choliq Riza, Masyhudi Saan, Z.Klinx, Frans Hasyim, Saefuddin Kribo, Rum, Yayak dan banyak lagi, yang dalam diskusi tidak selalu sejalan dan nyaris selalu beda pandangan. Tapi itulah kira-kira bagaimana aku dan puisi.
Aku masih mencatatnya dalam ingatan bagaimana proses berkesenian di Pekalongan. Saat Teater KAMI pentas membawakan lakon: Woo Ngono Tho karya Sugeng Isdianto, Sang Anak; Ki Demang; Umar Bin Khotob; Masyitoh (Imawan), Penjaga Mercusuar (Z.Klinx), kemudian lakon Impas yang ditulis dan disutradarai Imawan sebagai wakil eks-karesidenan Pekalongan dalam Festival Teater Islam Tingkat Jawa Tengah di Semarang (1990) dan aku menjadi pemeran utamanya. Berteater bagiku berpuisi panjang. Pernah juga aku bermain teater tradisional, bergabung dengan ketoprak Polres Pekalongan, mementaskan lakon Ki Ageng Mangir di Ngesti Pendowo Semarang, meski hanya tampil sebagai prajurit yang kalah perang (karena aku orang Pekalongan yang tidak bisa bicara dengan bahasa jawa halus –krama inggil- jadi hanya kebagian peran yang sedikit sekali dialognya, peran lainnya dimainkan polisi-polisi yang rata-rata orang Solo, Sragen, dan Boyolali), tapi di situ aku belajar bagaimana Geguritan dan seperti apa irama Dhandhang Gula, puisi Jawa yang sarat makna.
Teman-teman semasa di Pekalongan tadi selalu memberi kritik yang menggelitik nafsu kesenimananku yang hanya sebatas kepala.
Dengan modal keberanian aku punya ambisi meramaikan kesenian di Pekalongan. Bersama Teater KAMI aku menyelenggarakan Festival Teater Pelajar tahun 1992 dan digelar lagi yang kedua kalinya tahun 1993. Waktu itu kami mendapat dukungan dari seniman-seniman besar asal Pekalongan di Jakarta, seperti Taufik Ismail, Amak Baldjun, Niniek L. Karim dan lain-lain. Kemudian menggelar Festival Musik Iwan Fals (1995), berkat bantuan Abdillah Ba’bud dan Bang Si Moh di Jakarta, aku mendapat izin membawa piala Iwan Fals dari orangnya. Beberapa kali aku membuat event Lomba Baca Puisi, dan menulis puisi untuk dikirimkan di media massa, aku bangga karena puisiku muncul di koran dan majalah terbitan Semarang. Tapi karena kesibukan kerja, puisi-puisiku kubiarkan tersimpan di laptop atau hanya masuk ke laci meja.
April 1995, aku hijrah ke Yogyakarta bekerja di Radio Yasika dan TVRI Yogyakarta. Di Yogya aku bertemu teman-teman Pekalongan yang getol berpuisi dan berkesenian. Komunitas anak Pekalongan ini bernama Belula, rata-rata mahasiswa UII dan Gadjah Mada. Mereka adalah: Jujur Toto Susilo (Api yang menerangi pikiran-pikiran sahabat-sahabatnya. Ia berperan sebagai Sri Kresna, bukan ksatria – tapi menentukan perjalanan kawan-kawannya), MJA Nasheer (seniman sosialis yang bergaya rocker, piss man!), Imam, Zulkarnain, juga Jamaluddin Latief (yang kini jadi aktor beneran di Teater Garasi. Sudah berkali-kali pentas di luar negeri). Di Komunitas Belula sebetulnya aku hanya jadi taplak meja, boleh dikata hanya jadi penontonnya. Tapi aku banyak belajar dari proses kreatif mereka, sayang sekarang mereka sudah tidak ada di Yogya, sudah pada lulus semua. Dan padepokan Belula di Pogung Lor tinggal terlihat bayang-bayangnya.
Di Yogya, semangat berkesenian dan berpuisi tak pernah kehilangan energi. Sempat juga aku bermain-main bikin film, dua film pendek sempat kutulis skenarionya dan aku menyutradarai sendiri, yaitu Gerhana (diproduksi Lentera PKBI DIY, 1997) dan Kapal Kertas (Produksi Sasindo Film, 1998). Skenarioku juga laku untuk film dokumenter Pithecantropus Erectus: Jejak-jejak Kaki Sang Nenek Moyang Di Sangiran (Produksi Dinas Pariwisata Jateng, 1999) yang disutradarai Gunung Nusa Pelita.
Terbesit juga aku untuk terjun ke dunia film, apalagi teman-teman sineas muda di Yogya waktu itu sering bertandang di rumah kontrakanku untuk mendiskusikan karya-karyanya. Hanung Bramantyo salah satunya. Aku ingat film pertama dia berjudul “Surya Mengapai Maharani” yang dialog-dialognya adalah puisi-puisi, karena tak punya dolly track ia menenteng kamera dengan membonceng sepeda sehingga menghasilkan gambar yang berjalan dinamis, sungguh kreatif dia. Juga Gunung Nusa Pelita, anak Magelang jebolan Sinematografi IKJ yang kepengin hidup di Yogyakarta, tapi nasib selalu membawanya kembali ke Jakarta. Dan beberapa teman yang kini bekerja jadi pembuat sinetron di televisi. Kemudian bersama Kelik Pelipur Lara aku menulis skenario komedi untuk televisi, judulnya Air Love You, bahkan aku turut bermain bersama pelawak-pelawak itu. Ah, aku memang tak bisa lepas dari naluri berkesenian. Tapi berkesenian tidak harus menjadikan aku sebagai seniman. Ah, mengapa aku selalu tidak mau menjadi seniman?
Seperti aku sampaikan tadi, jiwa senimanku hanya sebatas kepala, sehingga aku tidak berani total menggeluti. Karenanya, sebelum aku terjerumus menjadi pegawai negeri di TVRI dan kedanan jadi seniman, Tahun 2000 setelah empat bulan menikah, aku memutuskan mendirikan usaha jasa penyelenggaraan acara dan pembangun citra, kerennya: Event & Brand Organizer bernama Kirana Kreativisia, hingga sekarang ini.
Kesibukan membangun usaha tak membuat pergaulanku dengan seni dan puisi berhenti. Beberapa acara pembacaan puisi aku gelar, diantaranya “Parade Puisi Anak Negeri” (2006), yang diramaikan oleh WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, Taufik Ismail, Darmanto Jatman, Landung Simatupang, Evi Idawati, Whani Darmawan, Yudi Ahmad Tajudin, Lindy Cisya Praba dan Rona Mentari.
Kalau sekarang kumpulan puisiku Selendang Jlamprang aku terbitkan, selain karena hasutan Pak Iman Budhi Santosa – “penyair gaek” lulusan Institut Malioboro-nya Umbu Landu Paranggi (Persada Studi), juga karena kerinduan-kerinduanku pada Pekalongan. Perlu energi lebih untuk mengumpulkan puisi-puisiku yang tercecer tak terdokumentasi dengan rapi. Aku beruntung memiliki staf yang tahan uji; Sary, Dina, Gandhung, Joe, Teguh, Zidni dan Hesty membantu mengolah hingga siap saji.
Kehidupan yang paling nikmat adalah menghayati kerinduan, dan aku beruntung memiliki ruang rindu itu. Kebetulan istriku, Dini Fika Kamalia adalah orang Pekalongan (Pekajangan), kehingga kerinduan itu bisa kami nikmati bersama. Aku bertemu dia juga karena puisi. Saat aku aktif di Senat Mahasiswa Universitas Pekalongan dan jadi ketua Ramadhan di Kampus tahun 1992, aku menyelenggarakan Lomba Baca Puisi Kandungan Al Qur’an, dan dia jadi salah satu pesertanya. Bersamanya kini aku mendidik dua putriku: Tara Reysa Ayu Pasya dan Raya Emirrani Syahlevi dengan cinta suci juga puisi.
Karena puisi, meski sudah belasan tahun menghirup udara dan meminum air Yogyakarta, Pekalongan tetap hadir dalam ingatan dan menumbuhkan kerinduan. Memang tidak selamanya kerinduan itu menyenangkan.
Ibuku, Hj. Hartini Abdul Madjid, pernah berkata padaku, “meskipun kamu sudah jadi wong Jogja karena anak-anakmu lahir disana, kamu sudah merasa nyaman di Jogya dan KTP-mu sudah KTP Jogja, tapi kamu ndak bisa mengelak kalau kamu ini orang Pekalongan, darahmu adalah darah Pekalongan, dan di KTPmu itu tertulis kamu lahir di Pekalongan. Tidak ada yang bisa mengubahnya.”
Yogya memang istimewa, terutama atmosfir budaya yang sangat mendukung untuk berkesenian. Tidak hanya aku, banyak orang yang datang ke Yogya kemudian enggan meninggalkannya karena mengandung sejuta romatika. Malioboro, Kaliurang, Tamansari, Ratu Boko, Baron, Bulak Sumur, Parangtritis, Affandi, Joko Pekik, Didik Nini Thowok, Padepokan Bagong Kusudiharjo, Sheila On 7, Emha Ainun Nadjib, Shoping Center, Bringharjo, Masangin, Mbah Maridjan, Yati Pesek, Vredeburg, Gudeg Wijilan, Bakpia Pathuk, Dagadu, Warung Angkringan, Cangkringan, adalah pesona yang tak ada habisnya. Namun Pekalongan memiliki makna yang begitu dalam dalam hidupku, First Love Never Die, disitu aku pertama kali mengenal sesuatu, mengenal rasa, mengenal kata dan mengenal cinta, itu yang membuat aku tidak dapat lepas dari bayang-bayang Pekalongan.
Aku ingat, dulu di bagian belakang rumah Simbah (eyang), puluhan buruh batik bekerja dengan canda tawa, bau malam, obat-obat batik dan kaporit sangat menyengat. Semuanya aku ingat. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Canting-canting bergelantungan seperti kelelawar. Sungguh, rindu ini tak bisa lagi ditawar.
Yogyakarta – Pekalongan, semoga saja buku kumpulan puisi Selendang Jlamprang ini dapat menambah semarak nuansa berkesenian di Pekalongan, yang kini geliatnya menebar wangi hingga tercium ke Yogyakarta. Selamat menikmati puisi-puisi ini.